Kamis, 14 Juni 2012


Dosen S2 dari UMS sampai Australia

Tiga bulan berada di Charles Darwin University of Australia menambah kekayaan wacana ilmunya. Pemikiran-pemikiran baru-pun keluar ketika pulang ke tanah air, Ia punya visi misi merubah budaya mahasiswa yang pasif menjadi produktif dan aktif. Siapakah dia?
Dian Purworini, Dosen Public Relations dan Marketing Komunikasi ini memiliki pengalaman yang sudah tidak diragukan lagi. Ia lulusan dari salah satu universitas ternama di Indonesia, Universitas Gajah Mada (UGM). Pengalamannya selama belajar di UGM dan Charles Darwin Univrsity ingin ia tularkan kepada teman-teman di Ilmu Komunikasi UMS.
Dian bukan tipe orang yang gampang puas dengan apa yang sudah ia dapatkan. Menjadi lulusan kelas Internasional UGM dan menjadi Dosen Ilmu Komunikasi UMS tidak membuatnya jemawa. Menambah kekayaan ilmu, Ia sempat mengambil les singkat ke Charles Darwin university of Australia. “Saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai negara karena Australia termasuk salah satu negara yang penduduknya banyak dari negara lain,” critanya.
Di Australia, Dian sempat merasakan shock culture karena baru pertama kali pergi dan tinggal cukup lama di luar negeri. Namun selang beberapa hari, Ia mampu membiasakan diri dengan kebiasaan disana. Ia malah senang bisa berkenalan dengan banyak orang dari berbagai negara. “Banyak orang disana itu menganggap bali adalah negara sendiri namun sudah saya jelaskan jika bali itu salah satu bagian dari Indonesia,” katanya saat ditemui diruangan kerjanya.
Ia mengatakan, kepedulian orang luar terhadap negara kita juga tinggi terbukti pada saat gunung merapi meletus beberapa tahun silam. Teman-temannya antusias dan mau membantu. Hal itu, membuat Dian dan teman-teman dari berbagai negara tersebut saling mengerti.
Bercerita pengalamannya dikelas, Ada perbedaan sistem di Australia dan Indonesia. Di Australia, dosen yang masuk itu langsung menanyakan pokok bahasan kepada mahasiswa, jadi mereka yang tidak belajar akan sangat kelihatan. “Mahasiswa disana itu dituntut untuk selalu aktif beropini,” terang Dian.
Dosen tidak hanya berceramah didepan kelas, namun juga memberikan kasus-kasus untuk dianalisis. Jadi, mahasiswa di Charles Darwin University itu termasuk mahasiswa yang aktif karena mendapatkan sistem pembelajaran yang bagus. Dian mencoba membawa cara belajar itu ke UMS agar hasil mahasiswanya juga tidak kalah dengan mahasiswa luar negeri. “Saya mencobanya di Ilmu Komunikasi UMS, namun sebelumnya saya sudah pernah mendapat pembelajaran seperti ini di UGM,” tuturnya.
Ada masalah ketika cara belajar seperti itu dibawa ke Ilmu Komunikasi UMS. Belum semua mahasiswa mampu mengikuti sistem seperti ini. Kebanyakan dari mereka lebih senang mendengarkan dan diam ketimbang mengeluarkan opini. Budaya seperti ini yang ingin Dian rubah dari mahasiswa Ilmu Komunikasi UMS.
Untuk merubah budaya ini, Dian tidak hanya membiarkan mahasiswanya begitu saja. Ia melihat juga apakah ada progress dari mahasiswanya atau tidak. Misalnya, dari tugas-tugas yang diberikan, kemudian dari semester sebelum dan sesudahnya apakah mahasiswa tersebut masih sama atau malah mundur prestasinya.
Selain itu, Dian menjelaskan kenapa Ia ingin mengubah budaya mahasiswa khususnya di Ilmu Komunikasi UMS. Ia melihat mahasiswa di Luar itu lebih memiliki etika. Misalnya, mereka bisa menghargai saat pelajaran tidak banyak yang smsan dan ngobrol. Namun, jika kita lihat di lingkungan kita. Mahasiswa masih banyak yang tidak menghargai dan suka ngobrol.
Mahasiswa-mahasiswa yang bisa mengikuti cara belajarnya tersebut mampu berkembang lebih positif. Misalnya saja, cara pandang yang luas kemudian berani berpendapat dan analisis yang mereka keluarkan bisa lebih tajam. “Namun, bagi mereka yang hanya diam saja dikelas ya tetap tidak ada perkembangan yang besar,” jelas Dian.
Perbedaanya lagi, bisa terlihat pada saat ujian akhir semester. Suasana ujian disana benar-benar hening dan tidak ada mahasiswa yang berani mencontek. Pengawas ujian juga benar-benar ketat. “Bahkan jika ada mahasiswa yang mau pergi Ke kamar mandi pengawas akan menikutinya,” papar Dian.
Masih banyak yang perlu dirubah dari pendidikan Indonesia, Dian mendapatkan cerita dari temannya yang berasal dari Taiwan. Di Taiwan, Dosen strata 2 itu baru menjadi asisten dosen bukan dosen. Namun, jika di Indonesia sudah bisa menjadi dosen. Rata-rata dosen yang berada diLuar sudah S3.
Namun, bukan berarti dosen di UMS tidak berkualitas. Teman-teman dosen yang masih strata 1 itu bukan berarti mereka tidak berkualitas. Semuanya sudah masuk standard mutu, Masuk di UMS saja sudah berat dan testnya tidak main-main. Misalnya toefl untuk menjadi dosen UMS saja harus mencapai 500. “Masalah S2 itu hanya soal waktu saja kok,” terangnya.
Dosen-dosen di Komunikasi UMS juga banyak mengambil materi bukan hanya dari luar juga. Saat ini ilmu khususnya dibidang komunikasi sedang berkembang pesat baik diluar atau didalam negeri. “Permasalahannya, kita belum memiliki buku yang luar negeri dalam artian buku-buku itu belum ditraslate ke bahasa Indonesia,” tutur Dian.
Dian berharap Ilmu komunikasi UMS mampu berperan aktif dalam membantu masyarakat. Ia menambahkan, mahasiswa komunikasi UMS jangan hanya bercita-cita menjadi wirausaha, atau bekerja di perusahaan mana. “Yang penting bisa berguna di masyarakat sekitar,” jelasnya. (Ryantono Puji Santoso)

3 komentar: